Refleksi May Day 2023: Quo Vadis Kesejahteraan Buruh

Penyerapan lapangan pekerjaan terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi yang membuka kran-kran usaha baru yang membutuhkan tenaga kerja baru. Tumpuan utama untuk mewujudkan hal tersebut tiada lain adalah mendorong masuknya investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga roda ekonomi dapat berjalan cepat dan pesat. Pentingnya investasi tentu akan menjadi focus utama dari setiap rezim yang menginginkan kemajuan dan stabilitas ekonomi-politik, peningkatan kesejahteraan dan tujuan strategis lainnya

Umumnya untuk menarik investasi diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat “melicinkan” untuk memenangkan kontestasi ajang pencarian investor di tataran local maupun global. Yang paling umum dilakukan adalah adanya kemudahan dan beragam insentif dari pemerintah, diantaranya, relaksasi biaya, penyesuaian regulasi, infrastruktur, biaya kepabeanan dan lain-lain. Dari perspektif buruh, fleksibilitas pasar kerja (alih daya dan buruh kontrak/PKWT) dan fleksibilitas jam kerja ( jam kerja lembur yang berlebihan dengan upah lembur minim dan upah rendah), dianggap sebagai bentuk lain insentif yang diberikan kepada investor untuk mendukung iklim investai yang kondusif, di mana hal ini semakin terlihat nyata dan jelas pasca lahirnya UU Cipta kerja dan PP, hingar binger penolakannya masih terasa, meskipun sudah ada Putusan MK, cerminan bahwasanya hal ini masih menjadi perhatian bersama dan tugas utama yang tidak boleh dipandang sebelah mata

Menurut Fred Block,“The Rulling Class Does Not Rule” dalam Jurnal Social Revolution, fungsi pemerintah dengan berbagai perangkat oganisasi serta pengembangan sistem politiknya adalah :

Buruh dan organisasinya tidak hanya sebagai wadah berbasis massa yang distereotipkan dengan “pemogok dan pendemo”, tetapi juga bertransformasi sebagai wadah berbasis intelektual yang mengedepankan upaya-upaya dialogis, diantaranya dialog sosial/social dialogue, dalam mencari solusi atas segala permasalahan yang ada. Di samping itu, nilai tawar buruh tidak hanya melulu pada aksi aksi di jalan/pabrik tetapi juga pada peningkatan kompetensi (soft&hard skill) dalam rangka menjawab tantangan dan kebutuhan dunia kerja yang saat ini sudah masuk tahap kontestasi global.

Investasi sangat diperlukan oleh negara, tentunya dengan arah yang jelas demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, di mana hal ini mewajibkan adanya kontibusi dan keikutsertaan dari seluruh pemangku kepentingan, meliputi pemerintah, pengusaha dan buruh secara proporsional.

Pekerja Menggugat BUMN

Adalah menjadi kewajiban bagi semua pihak untuk melakukan segala upaya dan/atau tindakan yang dianggap perlu, penting dan segera dengan tetap memperhatikan aspek fairness,competitiveness,objektifitas dan akuntabilitas dalam rangka mendukung produktivitas/kinerja dan kesejahteraan Pekerja beserta keluarga, baik yang bersifat preventif dan korektif. Hal ini dimaksudkan diantaranya untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya hal-hal yang berkorelasi negatif terhadap keberlangsungan usaha dan pemenuhan hak normative, salah satunya di lingkungan BUMN,   sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (formiil dan materiil), termasuk namun tidak terbatas di bidang hubungan industrial/hukum ketenagakerjaan

Pada perkembangannya,,terdapat fakta bahwasanya begitu banyak perselisihan hubungan industrial yang ada di lingkungan BUMN, termasuk namun tidak terbatas pada Jiwasraya, Percetakan Negara RI, KSO TPK Koja,  di mana hal ini telah menjadi perhatian bersama, semakin memburuk dan tidak pada arah penyelesaian yang komperehensif, terlebih pada adanya indikasi atau patut diduga terjadi pelanggaran pemenuhan hak-hak (syarat dan norma kerja) para Pekerja, tentu hal ini patut dicegah dan/atau ditanggulangi dengan segera melalui upaya-upaya yang penting dan perlu, di satu sisi, faktanya adalah BUMN adalah contoh dalam penerapan good corporate governance dan pematuhan atas segala ketentuan hukum dan bisnis yang proper, di sisi lain para Pekerja BUMN adalah ujung tombak dan human capital aseet  utama bagi upaya-upaya kemajuan dan penyelamatan BUMN (pada kondisi sulit)  yang bekerja dengan sangat optimal, berdedikasi dan profesional, namun kemudian dihadapkan pada permasalahan-permasalahan sebagaimana dimaksud.

Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah para Pekerja diharuskan untuk melaksanakan semua pekerjaan dengan segala konsekuensi yang tidak mudah, mulai dari meningkatnya beban kerja dan waktu kerja di luar normal dan hal-hal lainnya, termasuk namun tidak terbatas pada pengaruhnya di kehidupan sosial dan bermasyarakat.

Para Pekerja BUMN dihadapkan pada begitu banyak permasalaha, di antaranya penutupan cabang yang berimbas pada terjadinya mutase secara mendadak tanpa adanya sosialiasi/komunikasi yang patut dan layak,tidak adanya transparasi dan akuntabilitas serta ketidakpastian jaminan pemberian hak Pekerja yang dimutasikan. Selanjutnya, pemotongan upah yang dilakukan secara tidak manusiawi (lebih dari 50 %) sehingga berdampak pada degresi pemenuhan penghidupan yang berkepanjangan, ketidakpatuhan pada perjanjian kerja bersama tanpa adanya kesepakatan atau dialog sosial dengan pekerja atau serikat pekerja. Permasalahan ini secara nyata telah masuk sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana telah diatur dalam kontitusi, termasuk namun tidak terbatas pada hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kebebasan berserikat dan berkumpul dan lain-lain. Dalam konteks ini, perlu keterlibatan dari seluruh pihak terkait, terutama peran negara dalam menjamin pelaksanaan HAM secara optimal dan universal.

Buruh auto pilot?

Saat ini kedudukan dan peranan penting buruh dan organisasinya diakui memiliki peranan penting dalam perkembangan ekonomi, salah satunya sebagai “tulang punggung” perekonomian Indonesia. Buruh dalam perkembangan ekonomi secara legal-formal telah mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini dapat dilihat, dengan adanya kelembagan triparti baik ditingkat lokal maupun nasional yang menempatkan buruh sejajar dengan pemangku kepentingan lainnya, Pengusaha dan Negara. Di samping itu, elit-elit organisasi buruh juga sudah mulai masuk di lembaga buruh internasional dan menduduki posisi-posisi yang strategis. Tentu ini kabar baik dan menggembirakan bagi Buruh dan Organisasinya.

Dilema kemudian muncul bagi pemerintah maupun gerakan buruh sendiri. Di satu pihak pemenuhan hak-hak buruh oleh perusahaan sangat penting untuk menjaga dan melindungi kesejahteraan buruh, namun di lain pihak, buruh dan organisasinya dituntut pula untuk ikut bertanggung jawab dalam perkembangan ekonomi, baik untuk kepentingan nasional maupun kepentingan buruh itu sendiri. Dalam hal ini, keseimbangan hak dan kewajiban buruh dan organisasinya harus dilihat sebagai sebuah keharusan untuk menciptakan keselarasan. Sejatinya, antara hak dan kewajiban tersebut adalah suatu hal yang erat berakitan, hak muncul sebagai akibat pemenuhan atas kewajiban.

Dalam konteks internal Buruh dan organisasinya, diperlukan organisasi buruh yang bersatu pada tingkat nasional yang bersifat unitaris dan tunggal, ataupun federative dan plural, dengan syarat utamanya adalah adanya indepedensi, imparsial dan kemandirian. Kedua pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing tergantung pada kondisi dan kebutuhan gerakan buruh itu sendiri. Yang menjadi focus utama dari hal ini adalah adanya integrasi, konsolidasi atau persatuan di dalam gerakan buruh untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan buruh yang objektif dan universal serta menjaga gerakan buruh dari perpecahan dan gangguan-gangguan, baik internal maupun eksternal. Konsolidasi yang bersifat Top Down sebagaimana terjadi pada gerakan buruh di Eropa, secara konsep tidak hanya memerlukan kesamaan perspektif di tataran atas (Top), tetapi juga di perkuat pondasinya di tataran bawah (down), yakni di tingkat lokal (perusahaan) dan regional (wilayah) sehingga keajegan organisasi dapat lestari dan memberikan kemudahan kearah gerakan bertransformasi ke dalam dunia politik, melalui pembentukan partai politik pekerja/buruh, tehadap hal ini perlu dikaji dan dianalisa lebih lanjut bagaiamana kehadiran dan peran buru di kontestasi politik ke depan, semoga tidak hanya menjadi sebagai penggembira.

Berbeda hal nya dengan gerakan buruh di Indonesia yang saat ini, seakan “auto pilot” tanpa ada arah yang jelas, masing-masing organisasi buruh bergerak tanpa kordinasi sehingga sering kali terlihat ada perbedaan jalan yang signifikan di lapangan di antara organisasi-organisasi tersebut. Belum lagi, adanya perbedaan pandangan politik di antara organisasi buruh tersebut semakin memperlihatkan adanya disparitas arah yang hendak dicapai. Cita-cita adanya konsolidasi yang ajeg sebagaimana dimaksud terlihat sangat jauh untuk diwujudkan. Hal ini tentu menjadi permasalahan besar yang harus segera diselesaikan oleh buruh dan organisasinya.

Alternatif yang terbuka adalah mendorong adanya integrasi dikalangan buruh sendiri, secara alamiah dan demokratis, baik di tingkat atas maupun bawah, yaitu pabila kaum buruh bisa memusatkan perhatian dalam memperjuangkan kepentingan buruh yang objektif dan universal. Dalam proses ini, buruh bisa mengembangkan diri menjadi kekuatan sosial-ekonomi-poitik tersendiri yang mengambil peran penting dalam perekonomian, kesejahteraan, politik Indonesia dan menolak menjadi komoditi.

Pekerjaan Rumah Baru?

Pasca Pandemi berangsur-angsur ke arah menjadi endemi dan pasca dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 2023,ada pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan, tidak ada pilihan lain, para stake holder  di bidang hubungan industrial untuk segera menyiapkan upaya-upaya progresif dalam rangka penyesuaian dengan norma-norma baru pasca UU No. 6 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah, menyatukan dan menjembatani ekpektasi perusahaan dan buruh akan menjadi catatan tersendiri, peluang sekaligus tantangan dalam waktu yang bersamaan. Berikut beberap hal yang dapat dipertimbangkan dalam menyikapi UU Cipta Kerja dan PP di perusahaan:

  • Internalisasi melalui komunikasi dan kordinasi dengan stake holder, meliputi pihak internal (lini manajemen & karyawan) dan pihak eksternal (serikat pekerja/buruh di perusahaan) terkait isu/opini yang berkembang secara lebih objektif ;
  • Optimalisasi pemahaman tentang aspek hukum terkait UU No. 6 Tahun 2023dan PP beserta peraturan pelaksananya dan korelasinya dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dan ketentuan yang berlaku di perusahaan (PK/PP/PKB/internal policy), pasca UU No. 6 Tahun 2023dan peraturan pelaksananya berlaku ;
  • Mereview kembali target-target bisnis yang terdampak dan/atau berkaitan dengan norma-norma baru di dalam UU No. 6 Tahun 2023dan PP dan peraturan pelaksananya ;
  • Menyusun rencana kerja dan kebijakan secara terukur dan sistematis di bidang human capital sebagai upaya memitigasi potensi risiko dan mengambil peluang yang temuat di dalam norma-norma baru di dalam UU Cipta Kerja dan PP dan peraturan pelaksananya;
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp